Semeleh melalui Foto

by Desyatri Parawahyu Mayangsari

  

Siang itu, lokakarya Semeleh dimulai agak terlambat. Bolo Space di Yogyakarta menjadi tempat kami berkumpul untuk saling mendengarkan dan berbagi cerita. Awalnya peserta berjumlah tujuh, lalu bertambah satu. Fathuma, peserta asal Amerika Serikat, melengkapi kuota lokakarya.

Lokakarya Semeleh hadir untuk membuka ruang penerimaan diri bagi siapa pun. Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental yang menurutku masih minim. Kalaupun ada ya hanya segelintir orang yang mau tahu, yang merasakan seperti teman-teman penyintas, pendamping (caregiver), atau bahkan orang-orang yang tidak sadar hidup dalam lingkungan negatif yang perlahan menguras energi.

Terkadang, seseorang masih menolak mengakui bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Istilah yang sering muncul untuk memperlihatkan dirinya “kuat.” Sebuah mekanisme diri untuk bertahan di tengah tekanan.

Aku, Desya, yang berinisiatif membuat lokakarya ini setelah merampungkan buku fotoku yang berjudul mBrebeki. Sebuah buku foto tentang keberisikan dengan visual yang riuh.
Foto-foto alam dan benda mati.
Coretan puisi.
Goresan-goresan penuh warna.
Kertas yang diremas.
Dan tulisan-tulisan lainnya yang mengalir tanpa arah.




Begitulah aku menggambarkan mBrebeki, baik lewat tulisan maupun cerita berjam-jam ketika bertemu orang. Dari semangat yang besar itulah muncul tekad untuk terus sembuh untuk berkarya dan berkarya untuk sembuh. Kata-kata yang selalu kubawa saat sedang berselancar dengan mBrebeki.

Dalam lokakarya Semeleh, aku tak berjalan sendiri. Aku mengajak Siti Kholidiyatus Sa’diyah, temanku yang berprofesi sebagai psikolog. Harapannya, lokakarya ini pendekatannya lebih mendalam secara psikologis. Dan pendekatan dari keahlian yang kulakukan ialah memaknai foto dan bercerita lewat foto, yang merupakan bagian dari praktik fotografi terapeutik. 

Dikutip dari therapeuticphotography.uk, “Using photographs and photography to increase self-knowledge, awareness, well-being, relationships, and to explore societal issues such as exclusion, isolation and social injustice.” Sedalam itu makna foto sebagai salah satu metode terapi. Juga tercantum di dalam website tersebut, “exposing negatives, developing positives.”

Aku sendiripun sedang mendalami penerapan fotografi terapeutik dalam kehidupan sehari-hari dan akademik. Bersama Nadia Wasta Utami, temanku lainnya yang berprofesi sebagai dosen sekaligus kolaborator, kami menulis paper yang berjudul Fostering Hope through Mediated Nature: Photobook as a Medium Therapeutic Photography untuk konferensi International Association for Media and Communication Research (IAMCR) di Singapura. Presentasi kami mendapat tanggapan positif dan dianggap menjadi temuan baru dalam ranah komunikasi kesehatan yang difasilitasi oleh buku foto untuk proses penyembuhan mental. Semua pengalaman itu memperkuat tekadku untuk mewujudkan lokakarya Semeleh.

Presentasi Paper di Konferensi IAMCR 2025, Singapura

Semeleh dalam bahasa Jawa berarti meletakkan, dari kata dasarnya seleh, yaitu melepaskan sesuatu setelah diupayakan dengan sungguh-sungguh. Tentang hubungan dengan orang lain, dengan diri sendiri, pekerjaan atau bahkan perjalanan hidup itu sendiri.

Bersama Mbak Diyah, kami merancang materi agar lokakarya ini bermanfaat bagi peserta bahkan setelah lokakarya selesai. Kami memadukan beberapa teori tentang fotografi terapeutik, mindfulness, journaling, dan art therapy. Delapan peserta lokakarya yaitu Anggi, Rizka, Firda, Dini, Bagus, Fathuma, Maz Do, dan Nisa mengikuti dengan penuh kesadaran saat sesi mindfulness dilakukan oleh Mbak Diyah. Aku memberikan pengantar tentang  praktik fotografi terapeutik dapat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Ada tangis yang membuncah, ada hening. Yang pada akhirnya, harapanku semoga setiap peserta bisa menemukan keautentikan dirinya melalui makna yang mereka temukan dalam foto-foto mereka.

Cerita-cerita yang ditumpahkan mungkin terlihat seperti benang kusut. Tapi seperti hidup, justru di dalam kekusutan itulah proses semeleh menemukan maknanya.




Praktik fotografi terapeutik dan art therapy dalam lokakarya Semeleh bersama peserta




___________________________



Desyatri Parawahyu Mayangsari, lahir di Yogyakarta dan tumbuh berpindah-pindah, memaknai hidup sebagai perjalanan siklus yang terus berubah. Pemaknaan ini diwujudkannya dalam buku foto pertamanya, mBrebeki (Gueari Galeri, 2024) yang menjadi sarana ekspresi emosi dan keterhubungan dengan batin, tidak hanya untuk dirinya sendiri namun juga para pembaca.

Dalam dua tahun terakhir, mBrebeki turut serta berkelana ke berbagai kegiatan dan festival, termasuk Indonesian Photobook Tour (Singapura, Berlin, London, 2023), Jakarta Art Book Fair (2023), Pentas Buku Foto (2024–2025), Yogyakarta Art Book Fair (2025), Arles Books Fair (2025), 10th Anniversary of Gueari Galeri di Reminders Photography Stronghold (Tokyo, 2025), menjadi koleksi perpustakaan Objectifs (Singapura, 2024), dikoleksi oleh Photobook Club Kuala Lumpur (2024), dan Bristol’s Annual Photobook Festival (2025).

Desya juga terlibat dalam berbagai diskusi buku seperti Kisah Keluarga dalam Buku Foto bersama Gueari Galeri dan Kelas Pagi Indonesia (2024), Merajut Pemulihan Batin melalui Buku Foto dengan Orama Psikologi (2024) dan Intimate Talk bersama Bawa Buku Independent Bookshop and Library (2025).

Pada September 2025, Desya mengembangkan saluran khusus untuk pengembangan karya mBrebeki, termasuk lokakarya fotografi terapeutik Semeleh: Mari Mulai Melepaskan dan Menuangkan, serta pameran di Jakarta International Photo Festival (2025).

©2025. Gueari Galeri. All Rights Reserved.
Jalan Cipaku 1, Santa Modern Market Lantai Dasar Blok AL00 Bks no. 97, Jakarta Selatan RT.5/RW.4, Petogogan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Indonesia 12170